Mengenang masa kecilku terkadang membuat air mataku menetes, bukan karena aku terlalu cengeng untuk menghadapi kehidupan tapi karena terkenang akan nenekku yang sungguh sangat menyayangiku. Mbo tuo aku memanggilnya yang dalam bahasa jawa itu berarti nenek atau nek, entah mengapa aku merasa ialah satu-satunya orang yang memberikan kadar cintanya tertinggi dibandingkan dengan semua orang yang pernah aku kenal, ia hampir tidak pernah marah kepadaku dan aku bersama mbakku(kakak perempuanku) memang sudah dibawah pengasuhannya sejak aku balita tepatnya di daerah klaten, jawa tengah. Hari demi hari aku habiskan dibawah asuhan tangan tuanya, terkadang ia mencari daun jati, terkadang ia mencari kayu bakar, terkadang ia mencari bunga pohon eucatiptus yang hasilnya ia jual hanya untuk sekedar makan hari ini. Tubuh rentanya dibalut dengan semangat juang untuk terus menghadapi apa yang kehidupan sodorkan kepadanya, raut mukanya menyiratkan ketabahan akan tempaan kehidupan, bungkuk tubuhnya menyiratkan beratnya beban yang ia pikul dalam hidupnya, rambut putihnya menyiratkan bukti akan lelahnya menghadapi sang waktu, tertunduk aku mengenangnya kemudian terbesit dalam hati sebuah doa, “Ya…Allah beliau sudah merasakan getirnya kehidupan dunia maka perkenankanlah untuk merasakan manisnya kehidupan akhirat”.
Kalau malam mulai menyelimuti, ia mengunyah daun sirih sembari membereskan apa yang bisa ia jual besok untuk menyambung datangnya hari, kalau aku terjaga dari tidurku satu kata yang masih terus kukenang yaitu, “Ge’ turu o le’, ta tunggoni” yang berarti tidurlah cu, saya tungguin…. Pagi-pagi sekali tubuh tuanya sudah menggendong apa yang akan ia jual kepasar, pulang dari pasar ia sudah membawa nasi bungkus untuk sarapan dan memberikan uang jajan untukku dan mbakku, biasanya kami diberi 50 rupiah, 25 untuk mbakku 25 untukku.
Terkadang aku terlalu malu, mbo tuo menghadapi seberat apapun yang kehidupan berikan kepadanya, tetapi aku terlalu lemah hanya sekedar untuk menghadapi masalah yang jauh lebih sepele dari yang dihadapinya. Mbo tuo masih mampu memberikan cintanya yang begitu besar walaupun sedikit sekali ia menerima cinta dari orang lain dalam kehidupan ini. Ya Allah izinkan aku untuk sekedar memberikan baktiku sebelum semuanya terlambat…
Kalau malam mulai menyelimuti, ia mengunyah daun sirih sembari membereskan apa yang bisa ia jual besok untuk menyambung datangnya hari, kalau aku terjaga dari tidurku satu kata yang masih terus kukenang yaitu, “Ge’ turu o le’, ta tunggoni” yang berarti tidurlah cu, saya tungguin…. Pagi-pagi sekali tubuh tuanya sudah menggendong apa yang akan ia jual kepasar, pulang dari pasar ia sudah membawa nasi bungkus untuk sarapan dan memberikan uang jajan untukku dan mbakku, biasanya kami diberi 50 rupiah, 25 untuk mbakku 25 untukku.
Terkadang aku terlalu malu, mbo tuo menghadapi seberat apapun yang kehidupan berikan kepadanya, tetapi aku terlalu lemah hanya sekedar untuk menghadapi masalah yang jauh lebih sepele dari yang dihadapinya. Mbo tuo masih mampu memberikan cintanya yang begitu besar walaupun sedikit sekali ia menerima cinta dari orang lain dalam kehidupan ini. Ya Allah izinkan aku untuk sekedar memberikan baktiku sebelum semuanya terlambat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar